Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dan keluarga bersama puluhan wartawan di Istana Bogor, Jawa Barat pada Minggu (9/12/2018).
Fadli Zon pun mempertanyakan momen tersebut, apakah merupakan liburan atau sinetron keluarga?
Pertanyaan itu dilontarkan Fadli Zon karena merujuk puluhan wartawan yang mendampingi keluarga Jokowi. Sebab, seusai memosting agresi jalan pagi keluarga di kompleks Istana Bogor, Jawa Barat pada Minggu (9/12/2018) pagi, masih dengan latar yang sama mereka pun berpotret bersama para wartawan.
"Liburan keluarga atau sinetron keluarga?" tulis Fadli Zon lewat akun twitter @fadlizon, Selasa (11/12/2018).
Fadli Zon pun menilai kehadiran puluhan wartawan tersebut merupakan bentuk upaya pencitraan Jokowi. Pencitraan yang disebut Fadli Zon sebagai upaya untuk menutupi kegagalan dalam pemerintahan.
"Selamat pagi. Liburan keluarga ya liburan saja, tak perlu banyak kamera spt buat film. Pencitraan yg keterlaluan bergotong-royong hanya menutupi kegagalan dr banyak hal terutama gagalnya ekonomi meroket," tulis Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Tersebut.
Sebelumnya, Fadli Zon pun menyebut liburan keluarga kecil Jokowi tersebut merupakan langkah pencitraan sang presiden yang gagal. Sebab, di balik harmonisnya suasana dan kedekatan Jokowi dengan keluarga, terdapat puluhan wartwan yang berada di hadapan mereka.
"Pencitraan yg bocor," tulis Fadli Zon.
Terlepas dari prasangka yang disampaikan oleh Fadli Zon, potret Jokowi menggambarkan kedekatannya bersama keluarga.
Dalam potret terlihat sang istri, Iriana Joko Widodo didampingi kedua anak, menantu serta cucunya, antara lain Gibran Rakabuming Raka didampingi istri, Selvi Ananda dan putranya, Jan Ethes. Selain itu, hadir pula Kahiyang Ayu bersama sang suami, Muhammad Bobby Afif Nasution dan putrinya, Sedah Mirah Nasution.
"Saya selalu bersyukur telah diberiNya belum dewasa yang mandiri. Ada yang jualan kopi, martabak, juga menjual pisang goreng. Lalu dengan sepasang cucu, pria dan wanita -- lengkap sudah. Keluarga bagi saya selalu ada untuk memotivasi, mendorong, dan menambah semangat," tulis Jokowi.
Tidak hanya berfoto bersama keluarga, Jokowi sekeluarga pun menyempatkan diri berfoto bersama puluhan wartawan. Dalam statusnya, Jokowi secara eksklusif mengapresiasi dan menyebut seluruh wartawan yakni sahabat. Karena, diakuinya dirinya yang bukan siapa-siapa, sekarang telah dikenal luas masyarakat Indonesia ketika ini.
"Tahun 2004, sebelum jadi wali kota, siapa sih yang kenal saya? Tidak ada. Media massa mengenalkan saya, dengan liputan ihwal saya dan pekerjaan. Bagi saya, media yakni sahabat: dari yang memberitakan apa adanya, memberi masukan, hingga kritik yang pedas. Terima kasih media," tulis Jokowi melengkapi potretnya bersama belasan wartawan di Istana Bogor, Jawa Barat pada Minggu (9/12/2018).
Beragam pandangan dituliskan dalam kolom komentar status Jokowi tersebut. Terlebih para pendukung Calon Presiden (Capres) dan Calon Wapres (Cawapres) nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang menyebut Jokowi tengah mempolitisasi media.
Sebab, sebelumnya, video Prabowo yang murka dan menolak diwawancarai seusai menghadiri Peringatan Hari Disabilitas Internasional yang digelar di Hotel Sahid, Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (5/12/2018), beredar luas di media sosial.
Momen tersebut pun menarik perhatian pengamat politik Rocky Gerung lewat akun twitternya @tockygerung pada Minggu (9/12/2018), yang menyebut wartawan bukan boneka. Wartawan pun katanya tidak mengurusi boneka.
"Jurnalis bukan boneka. Dan tidak mengurus boneka," tulis Rocky Gerung.
Walau Rocky Gerung tidak menyebutkan siapa sosok yang disindirnya, masyarakat mengasosiasikan kicauan Rocky Gerung ditujukan kepada Jokowi. Sekelompok masyarakat menilai Jokowi kembali berperan sebagai play victim atau orang yang tertindas, berbeda dengan Prabowo Subianto yang berujar keras ihwal politisasi media.
Berikut pidato lengkapnya:
Saudara-saudara, saya terharu berapa hari yang kemudian ada program besar di Monas. Hadir jutaan orang, tapi banyak media di Indonesia tidak melihatnya. Yang hadir banyak kaum disabilitas. Yang tunanetra hadir, mereka tiba semenjak jam tiga pagi di situ. Belum kelompok-kelompok disabilitas lainnya.
Jutaan hadir, tapi banyak media kita tidak melihatnya. Ini aneh bin ajaib. Mereka saya katakan, kelompok itu. Kalian tahu yang saya maksud, yang itu tuh. Ini banyak yang nunggu gue salah ngomong. Nanti gue dilaporin lagi.
Kita dipandang sebelah mata. Kita enggak dianggap alasannya dibilang kita enggak punya duit. Mereka sudah tutup semua. Buktinya media, hampir semua media tidak mau meliput sebelas juta lebih orang yang kumpul. Belum pernah terjadi di dunia.
Saya kira ini insiden pertama ada insan kumpul sebanyak itu tanpa didanai oleh siapa pun. Mereka didanai oleh dirinya sendiri dan oleh rekan-rekannya sendiri dan oleh mereka-mereka yang ingin membantu rakyat sekitarnya.
Saya kira belum pernah terjadi. Tapi hebatnya media-media yang kondang, media-media dengan nama besar, yang menyampaikan dirinya obyektif, bertanggung jawab untuk membela demokrasi, padahal justru mereka ikut bertanggung jawab, mereka pecahan dari perjuangan manipulasi demokrasi.
Saudara-saudara sekalian, ada upaya berdasarkan saya, upaya besar untuk manipulasi demokrasi di Indonesia. Mereka menduga dengan uang yang besar, uang yang didapat dari praktik-praktik yang tidak bener.
Kasarnya uang yang mereka sanggup dari mencuri uang rakyat Indonesia. Dengan uang itu mereka mau menyogok semua lapisan bangsa Indonesia. Semua lapisan. Partai politik mau dibeli, pejabat-pejabat mau dibeli di mana-mana. Rakyat mau dibohongi, rakyat dicuci otaknya dengan pers yang, terus jelas saja, banyak bohongnya dari benernya.
Saudara-saudara, saya tiap hari ada kira-kira lima-delapan koran dateng ke daerah saya. Saya hanya mau lihat, bohong apa lagi nih? Bohong apa lagi nih? Bohong apa lagi yang mereka cetak? Dan puncaknya yakni kemarin hari Minggu.
Mereka menelanjangi diri mereka di hadapan rakyat Indonesia. Ada belasan juta mereka tidak mau melaporkan. Mereka telah mengkhianati kiprah mereka sebagai wartawan. Mereka telah mengkhianati kiprah mereka sebagai jurnalis.
Saya katakan, hai media-media yang kemarin tidak mau menyampaikan ada belasan juta orang atau minimal berapa juta orang di situ, kamu sudah tidak berhak menyandang predikat jurnalis lagi.
Kau, boleh kamu cetak, boleh kamu ke sini dan ke sana. Saya tidak akan mengakui anda sebagai jurnalis lagi. Enggak usah, saya sarankan anda tak usah hormat sama mereka lagi. Mereka hanya antek dari orang yang ingin menghancurkan Republik Indonesia.(*)
baca sumber