ADS

Janji Lama Penjajah Belanda Yang Bikin Opm Merana

Foto ilustrasi: Kunjungan Parlemen ke Kampung Kepi, Mappi, Papua, Agustus 1957. (Kantoor voor Voorlichting en Radio Omroep Nieuw-Guinea)

Jakarta - Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang bertindak keji membunuh para pekerja proyek Trans Papua itu punya akar sejarah panjang. Bila dirunut, akar tersebut hingga pada kesepakatan lama kolonial Belanda sekitar setengah masa silam.

Indonesia memang sudah merdeka semenjak 1945, namun Konferensi Meja Bundar empat tahun sesudahnya mengecualikan Papua dari wilayah Indonesia. Belanda masih tetap bercokol di Bumi Cenderawasih dan menamai daerah itu sebagai Nederland Nieuw Guinea (Nugini Belanda), Ratu Belanda segera mengesahkan peraturannya.

Namun semangat kemerdekaan dari bekas jajahan Belanda lainnya terlalu berpengaruh untuk ditangkal dan kesudahannya menular juga ke Papua. Hal ini diceritakan dalam buku 'Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka' karya John RG Djopari. Para perjaka Papua terdidik bergerak mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang pro-Indonesia. Dua organisasi ini menjadi bahaya konkret bagi kekuasaan Belanda di Papua.

Untuk menandingi imbas nasionalisme Indonesia yang diusung PKII dan KIM , pemerintah Belanda tancap gas menumbuhkan nasionalisme Papua. Gerakan Persatuan Nieuw Guinea didirikan, tokohnya yaitu Markus Kaisiepo, Johan Ariks, Abdullah Arfan, Nicolaas Jouwe, dan Herman Womsiwor. Nama-nama itu kelak bakal dikenal sebagai para senior gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Aktivitas politik disemarakkan Belanda lewat pembentukan belasan partai. Pada tahun 1961, Pemilu Legislatif menentukan anggota Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini) diselenggarakan. Manifesto politik dibikin oleh 70 putra Papua terdidik. Isinya antara lain menetapkan 'Papua Barat' sebagai nama negara, Bintang Kejora sebagai bendera nasional Papua, dan 'Hai Tanahku Papua' sebagai lagu kebangsaan.

Foto: Nieuw Guinea Raad atau Dewan Nugini bentukan Belanda pada 1961. (Kantoor voor Voorlichting en Radio Omroep Nieuw-Guinea)

Pada 1 Desember 1961, Bendera Bintang Kejora dikibarkan sejajar dengan Bendera Belanda di Hollandia (nama lawas Jayapura), lagu kebangsaan Papua dinyanyikan. Maka berhasil lah Belanda membentuk nasionalisme Papua.

"Propaganda anti-Indonesia terus ditingkatkan, di mana pada ketika itu West Nieuw Guinea akan diberikan pemerintahan Belanda pada tahun 1970 di mana bentuk dan isi dari pemerintahan itu kemudian akan ditentukan. Janji ini yang mengakibatkan sebagian dari pemimpin Papua tidak mengungsi ke negeri Belanda pada ketika Belanda harus meninggalkan Irian Jaya, tetapi mereka menetapkan untuk tinggal dan ingin menentukan dan mendapatkan kenyataan kesepakatan itu setelah Irian Jaya digabungkan dengan Inonesia," demikian tulis Djopari.

Belanda menjanjikan kemerdekaan untuk Papua selambat-lambatnya pada 1970. Janji ini terus dipegang OPM. Mereka terus memperingati 1 Desember, padahal si pemberi kesepakatan sudah kadung pergi duluan sebelum 1970, usai Perjanjian New York tahun 1962 yang mengamanatkan Papua diserahkan ke Indonesia via UNTEA (lembaga PBB). Ada pula Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 berupa referendum yang menghasilkan bunyi lingkaran persetujuan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia.

"Gerakan pro-kemerdekaan, bersenjata maupun tidak bersenjata, berakar pada dogma wacana kesepakatan kemerdekaan untuk Papua yang diberikan pemerintah kolonial Belanda pada 1961, namun tujuan itu digagalkan oleh Indonesia melalui kecurangan dan kekerasan, dengan persetujuan belakang layar Amerika Serikat (AS) dan kekuatan Barat lainnya," demikian tulis Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporannya, 'The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement' pada 2015.

Foto: Tur Inspeksi Gubernur Dr. P.J. Platteel melalui South New Guinea. Beberapa desa di Mappi hanya sanggup dijangkau oleh perahu. Kiri dari gubernur penuai South New Guinea, A. Boendermaker. (Kantoor voor Voorlichting en Radio Omroep Nieuw-Guinea)

Hal demikian disadari oleh Nicolaas Jouwe, mantan Wapres Nieuw Guinea Raad (Dewan Nugini), pencipta Bendera Bintang Kejora, sekaligus mantan pimpinan OPM. Nicolaas yaitu tokoh pro-kemerdekaan Papua yang berubah mendukung Indonesia pada pengujung umurnya.

"Peristiwa sekitar 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua kini bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika, dan Belanda," tulis Nicolaas dalam bukunya yang bertajuk 'Kembali ke Indonesia'.

Lewat perbincangan rahasia dengan Presiden Amerika Serikat (AS) John F Kennedy pada 1962, Nicolaas sadar bahwa kesepakatan kemerdekaan yaitu sekadar angin nirwana Belanda. Janji itu semata-mata dimaksudkan supaya Papua tidak sepenuhnya lepas dari tangan Belanda usai Perjanjian New York, UNTEA, dan PEPERA. Semua aktivisme pro-kemerdekaan yang sebelumnya ia jalankan kini dipandangnya sebagai pilihan yang patut disesali.

"Menurut saya, usaha Papua Merdeka yang telah saya lakukan merupakan dorongan dari Belanda yang seakan-akan akan mendirikan negara sendiri dan mengakibatkan saya sebagai Presiden Papua Barat. Sebagai seorang muda ketika itu saya tidak menyadari bahwa itu hanya merupakan pura-pura Pemerintah Belanda," tuturnya di usia kepala delapan.

Memang, pada tahun 1961, selang tak hingga sebulan usai pengibaran Bintang Kejora di Hollandia (sekarang Jayapura), Presiden Sukarno memekikkan semangat Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Papua dari Belanda. Sukarno menyebut pembentukan negara Papua sama saja dengan pembentukan negara boneka Belanda yang harus digagalkan. Upaya Sukarno membebaskan Papua dari belenggu penjajahan justru dipandang sebagai penjajahan itu sendiri oleh kalangan OPM. Selain alasannya tak oke dengan Indonesia, perasaan ini juga dinilai alasannya keberhasilan Belanda membentuk suasana yang aman di Papua pada era kolonial dulu.

Baca Juga : Nicolaas Jouwe: Muda Bikin Bintang Kejora OPM, Tua Dukung NKRI

Hal ini dijelaskan John RG Djopari. Belanda meninggalkan Papua dalam keadaan ekonomi yang stabil meski butuh biaya besar dan berisiko defisit anggaran. Ini semata-mata semoga orang Papua ketika itu tak merasa terjajah. Namun ketika Indonesia mendapatkan Papua, ekonomi Indonesia sedang morat-marit. "Sebagai akhir dari keadaan ekonomi Indonesia yang memburuk secara nasional di awal tahun 1960, ikut mensugesti keadaan ekonomi di Irian Jaya pada ketika berintegrasi dengan Indonesia," tulis John.

Bahkan di masa-masa yang lebih modern, muncul sorotan terhadap adanya intimidasi dan pelbagai pelanggaran oleh militer terhadap hak orang Papua ketika proses integrasi dengan Indonesia. John RG Djopari yang belum menjadi Wakil Gubernur Irian Jaya ketika menulis buku ini mengakui, ada perbuatan-perbuatan tidak terpuji pegawapemerintah Indonesia pada masa transisi dulu. Hal-hal ibarat itu harus diperbaiki bila masyarakat ingin ideologi OPM lenyap.

"Menumbuhkan pujian nasional dan uluran tangan atau pendekatan atas dasar cinta kasih merupakan cara yang sempurna dalam memantapkan integrasi politik di Irian Jaya melalui pembangunan politik di Irian Jaya, tanpa mengabaikan aspek-aspek kebudayaan masyarakat yang beraneka ragam itu," tulis John.

baca sumber

Subscribe to receive free email updates:

ADS